Sabtu, 10 Oktober 2009

Pendidikan... Oh Masa Depan

tulisan saya ini dimuat di blog nya Indonesian Youth Conference a.k.a IYC 

bangga banget sama diri sendiri yang walau gue lagi males nulis, tulisan 

gue tetap bisa dihargai orang lain dan terpilih untuk tampil di blog iyc. 

unbelievable! I feel happy about this. mungkin bakat saya memang untuk 

menulis but, who know? 1 yang saya yakini, Tuhan berikan yang terbaik 

untuk saya. 


Love,

eleanor rigby



Pendidikan… Oh Masa Depan

Ditulis pada 9 Oktober 2009 oleh Eleonora Brigitta Tiffany Ferrari

Pendidikan... Oh Masa DepanSaya sering berfikir, tidak semua anak Indonesia, para putra putri generasi penerus bangsa ini mendapatkan hak mereka seluruhnya. Sebut saja, hak hidup layak dan hak memperoleh pendidikan. Apa iya semua anak anak usia sekolah dapat bersekolah? Dan apa iya mereka yang bersekolah itu hidup layak? Tidak jarang, saya bertemu anak anak kecil yang disaat jam belajar harusnya mereka bersekolah, tetapi mereka sibuk dengan aktivitas seperti mengemis, bekerja, dan lainnya untuk menyambung hidup dirinya berikut sang keluarga. Ssaya tak bisa pungkiri memang bahwa bukan hal mudah untuk di usia semuda itu sudah banting tulang menghidupi keluarga untuk menyambung hidup. Saya sendiri sering merasa putus asa bila membawa uang terbatas dan lainnya. Bagaimana dengan mereka?

Pertanyaan seperti itu terngiang di benak saya.

Entah mengapa, pekerjaan yang kurang layak itu yang harus mereka pilih. Memang, sekarang dimana saja bila ada lowongan kerja, salah satu syaratnya harus S1, berpengalaman, dan lainnya yang sukar mereka penuhi.Tapi, dengan 1 kali mengemis misalnya. mereka dapat memperoleh uang ratusan ribu (itu yang saya dengar), di era serba susah seperti ini tentu itu merupakan suatu pekerjaan yang menyenangkan, bernyanyi dan uang pun mengalir. namun, itu bukan sesuatu hal yang layak mereka peroleh. Saya sering mendengar mengenai larangan untuk mengamen dan bagi pengguna jalan yang memberikan sedekah pada gelandangan dan pengemis akan ditindak tapi sepertinya itu hanya menjadi gertakan belaka. Bukan berarti saya ingin mereka merampas satu satunya harapan anak anak itu namun, harusnya mereka bisa mendapat kehidupan lebih layak, misalnya dengan Gerakan Orang Tua Asuh, sebab, bila 1 kali saja mereka mengemis, untuk selanjutnya dia akan ketagihan karena dengan mengemis dapat memperoleh uang yang banyak.

Saya berharap agar pemerintah lebih peka akan nasib nasib mereka. Tidak hanya memikirkan soal politik, bencana, dan lainnya. Memang hal tersebut tidak boleh luput dari perhatian pemerintah, namun, anak anak Indonesia juga butuh diperhatikan sebagaimana mereka harus mendapatkannya.

Saya sangat setuju dengan sekolah kartini yang dinaungi oleh 2 orang ibu guru kembar yang dengan rela mengajar secara sukarela anak anak yang kurang mampu. Setidaknya pemerintah dapat memberikan dana bos dan beasiswa prestasi bagi putra putri bangsa. Namun, dengan fasilitas yang sudah cukup menunjang, saya harap pemerintah mampu menarik anak anak tersebut dari jalanan untuk belajar di sekolah dan menghapus pikiran mereka mengenai mengemis itu lebih enak dari sekolah sebab mengemis mendapatkan uang dan sekolah mengeluarkan uang. Setidaknya mereka bisa mendapat semua yang seharusnya mereka dapatkan seturut hak mereka.

Kemudian saya juga ingin menanggapi soal biaya pendidikan. Akan lebih baik bila pajak yang rakyat bayarkan pada pemerintah dimanfaatkan dengan baik. Misalnya, sekian persen dari pajak digunakan untuk mensubsidi biaya pendidikan. Sehingga, biaya pendidikan tidak terlalu mahal dan dapat meringankan beban khususnya untuk kalangan menengah ke bawah. Sebab, bagi sebagian besar orang, pendidikan merupakan prioritas yang utama namun, hal tersebut juga harus ditunjang dengan hal hal yang positif. Untuk masuk universitas juga tidak murah, tergolong mahal malah. Ketika di sekolah saya diadakan edufair beberapa waktu lalu, disana sebuah universitas swasta di bilangan Tanjung Duren, Jakarta Barat menaksir biaya pendidikan jurusan kedokteran mereka sekitar 70 juta dan menurut mereka untuk jurusan kedokteran itu biaya yang tergolong murah.

70 juta saja sudah murah, lalu yang mahal berapa coba?

Dari hal seperti ini dapat dipastikan jumlah sarjana di Indonesia tergolong rendah. Belum lagi syarat S1 yang biasa tampil di iklan iklan lowongan kerja. Sedangkan jumlah S1 di Indonesia sangat banyak tentu akan berpengaruh besar terhadap persaingan kerja di kalangan sarjana. Belum lagi jumlah S2 yang lebih sedikit lagi. Padahal, sarjana seperti mereka sangat dibutuhakan pada jaman kini. Contoh kecil saja, ada ribuan orang yang mendaftar jurusan kedokteran di Universitas Gajah Mada tapi hanya sekian persen yang akan memperoleh itu semua. Namun, tetap saja jumlah dokter dan ahli medis Indonesia tergolong minim. Apalagi, semakin banyak dokter yang materialistis dan enggan menjadi tenaga sukarela bagis bencana alam dan lainnya. Saya fikir ini perlu menjadi sorotan penting pemerintah khususnya DEPDIKNAS.

Sekian yang ingin saya sampaikan sesuai dengan isi pikiran saya.
Jaya terus pendidikan Indonesia!

Profil Eleonora Brigitta Tiffany Ferrari :
Eleonora adalah siswi SMAK Sang Timur, Karmel, Jakarta, kelas 10 angkatan 2009/2010. Kamu bisa mengunjungi profil Facebooknya di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar